Keadilan dalam Poligami
“Barangsiapa yang memiliki dua orang istri lalu
cenderung kepada salah satunya dan mengabaikan yang lainnya, maka kelak di
akhirat akan berjalan dalam keadaan miring” (HR Ahmad)
Saat ini masyarakat memandang poligami sebagai
virus yang harus dijauhi. Padahal di zaman Rasulullah SAW, bahkan juga para
Nabi-nabi sebelumnya telah menjalankan praktek ini. Banyak para ahli berdalih
poligami dibolehkan dengan syarat. Syaratnya adalah adil, kemudian mereka
berkesimpulan bahwa tidak akan ada yang sanggup untuk berbuat adil, kecuali
Rasulullah karena beliau adalah manusia sempurna. Benarkah demikian? Perlu
rasanya kita mengkaji lebih dalam mengenai hal ini. Berikut adalah intisari
dari sebuah buku yang berjudul “Memahami Keadilan dalam Poligami”, karya Arij
Abdurrahman As-Saman.
Para ulama bersepakat bahwa definisi adil terhadap
para istri adalah tidak zalim (berat sebelah) dalam berlaku baik dan memenuhi semua
hak-hak mereka, yaitu dalam menggilir dan semua jenis nafkah lahir baik makan,
minum, pakaian maupun tempat tinggal.
Sedangkan keadilan dalam hal-hal yang berada di
luar kendali suami atau di luar kesanggupannya, seperti rasa cinta,
kecenderungan hati dan hubungan suami-istri semua itu bukan menjadi kewajiban.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra bahwa ia berkata:
Rasulullah SAW membagi untuk para istrinya dan berlaku adil, beliau bersabda: “Ya
Allah, inilah pembagian yang menjadi kuasaku, maka janganlah Engkau cela aku
dalam hal-hal yang Engkau Kuasai dan tidak aku kuasai. Yaitu masalah hati” (HR
Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah).
- Keadilan dalam Mabit (Giliran)
Yang dimaksud dengan mabit adalah
keberadaan suami bersama istrinya di tempat tinggal istrinya itu meskipun tanpa
berbaring atau tidur bersama di peraduan mereka. Tapi ini dilakukan secara adil
ke semua istri. Artinya ketika suami memutuskan untuk menggilir istrinya satu
malam, maka kepada istri yang lain pun harus sama satu malam juga. Dan waktu utama menggilir adalah di malam
hari, sementara siang hari adalah waktu tambahan. Aisyah ra berkata: “Rasulullah
SAW wafat di rumahku, pada hariku dan beliau wafat di siang hari”. Kecuali bagi
suami yang bekerja penuh di malam hari, maka siangnya adalah malamnya.
Istri boleh menghadiahkan gilirannya
kepada madunya agar suaminya ridha terhadapnya. Saudah binti Zum’ah ra tatkala
di usia senja, beliau datang menemui Rasulullah SAW dan berkata: “Ya
Rasulullah, aku sudah puas menjadi salah satu istrimu, maka jangan engkau
ceraikan aku, kuhadiahkan saja jatah gilirku untuk Aisyah”. Ia melakukannya
untuk menyenangkan hati Rasulullah SAW, karena ia tahu bahwa beliau SAW amat
mencintai Aisyah ra.
Kemudian turunlah ayat
“Dan jika seorang wanita khawatir akan
nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik”
(QS. An-Nisa:128).
Maka Rasulullah SAW menggilir Aisyah ra
dua hari, sedang yang lainnya satu hari.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Aisyah ra,
bahwa Rasulullah SAW mendapati sesuatu (yang kurang beliau sukai) dari
Shaffiyyah binti Huyay. Shafiyyah berkata kepada Aisyah ra, “Maukah kamu
membuat Rasulullah senang kepadaku, dan jatahku untukmu?”, lalu Aisyah
mengambil kerudung yang sudah diberi pengharum, dan ia kebatkan agar harumnya
menyebar, kemudian dipakainya, lalu duduk di sisi Rasulullah SAW. Maka
Rasulullah SAW bersabda: “Tunggu dulu wahai Aisyah, hari ini bukan jatahmu”.
Aisyah menjawab: “Itu adalah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendakinya”. Lalu Aisyah memberitahu Rasulullah SAW masalahnya, dan beliau
pun senang kepadanya.
- Keadilan dalam Bepergian Jauh
Ketika suami hendak bepergian jauh, maka
ia berhak menentukan apakah akan mengajak semua istrinya atau hanya sebagian
saja. Jika sebagian, maka harus ditentukan dengan undian, seperti yang biasa
Rasulullah SAW lakukan ketika hendak bepergian.
Aisyah ra berkata: “Bahwa bila Nabi SAW
ingin bepergian, beliau mengundi para istri beliau, siapapun yang keluar
undiannya, dialah yang ikut bersama beliau SAW” (HR Bukhari).
Sebagai tambahan, atau dengan keikhlasan
para istri.
- Keadilan dalam Cinta dan Hubungan Badan
Para ulama sepakat bahwa suami tidak
wajib berlaku adil dalam hal-hal yang tidak mampu ia kendalikan seperti hubungan
badan, karena hubungan badan tergantung kepada rangsangan dan nafsu yang tidak
dapat dikendalikan suami. Adil dalam hubungan badan tidak diwajibkan selama
suami tidak sengaja bermaksud menzalimi istrinya.
Kecenderungan hati pun termasuk yang
tidak diwajibkan untuk berlaku adil di dalamnya, karena manusia tidak bisa
mengendalikan bisikan hati. Inilah maksud firman Allah SWT:
“Kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil di antara isti-isti (mu), walaupun kau sangat ingin berbuat
demikian” (QS An-Nisa:129).
Al-Qurthubi berkata ketika menafsirkan
ayat ini: “Allah SWT memberitahukan ketidakmampuan suami berlaku adil terhadap
istri-istri dalam hal cinta, hubungan badan dan tempat di hati suami. Allah
menjelaskan keadaan manusia yang tidak mampu mengendalikan kecenderungan
hatinya kepada salah seorang istri dibanding yang lain”
- Keadilan dalam Nafkah
Dalil dari al-Qur’an
“Dan kewajiban yang diberi anak (ayah) memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” (QS Al-Baqarah:233).
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya” (QS
Al-An’am:7).
Dalil Sunnah
Dari Jabir bin Abdillah ra, bahwa Rasulullah
SAW bersabda pada khutbah haji wada’: “Bertaqwalah kamu kepada Allah dalam
masalah istri-istrimu, karena mereka adalah penolong dan amanat bagimu. Kalian
telah memperistri mereka dengan amanat Allah, dan telah halal kemaluan mereka
untuk kalian dengan kalimat Allah. Kewajiban mereka kepada kalian adalah tidak
membiarkan orang lain yang tidak kamu sukai menempati tempat tidurmu, jika itu
mereka lakukan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Dan kewajiban
kalian terhadap mereka adalah member i makan dan pakaian dengan cara yang ma’ruf”
(HR Muslim dan Abu Dawud).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar