Kecemburuan Wanita dan Hikmah Ta’addud (Poligami)
Penulis: Ummu ‘Abdillâh Al-Wâdi’iyyah hafizhahallâh
Berkata Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah
(9/320): “Telah bercerita kepada kami ‘Ali, ia berkata telah berbicara
kepada kami Ibnu ‘Aliyah dari Humaid dari Anas, ia berkata: “Adalah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berada di tempat sebagian
istrinya. Lalu salah satu dari Ummul Mukminin mengirim piring yang
berisi makanan, maka istri Nabi yang sedang berada di rumahnya memukul
tangan pelayan itu, sehingga jatuhlah piring tersebut dan pecah.
Kemudian Nabi memunguti pecahan piring dan makanan, sambil mengatakan:
((غَارَتْ أُمُّكُمْ)) “Ibu kalian cemburu.” Lalu beliau menahan
pelayan tersebut sampai beliau menggantinya dengan piring milik istri
yang beliau sedang di rumahnya. Lalu beliau memberikan piring yang utuh
kepada istri yang piringnya pecah, dan menahan piring yang sudah pecah
di rumah istri yang telah memecahkan piring tersebut.””
Kata اَلْغِيْرَةُ (cemburu) adalah pecahan dari kata تَغَيُّرُ القَلْبُ (berubahnya hati/tidak suka) dan هَيْجَانُ الغَضَبُ (berkobarnya kemarahan), karena adanya persekutuan (persaingan) dalam hal-hal yang dikhususkan. Dan yang paling dahsyat adalah yang terjadi antara suami dan istri sebagaimana dalam Al-Fath (9/320).
Dan cemburu itu ada dua macam: yang terpuji
dan yang tercela. Cemburu yang terpuji adalah cemburu yang tidak
melewati batas syari’at. Sedang cemburu yang tercela adalah cemburu yang
melewati batas syari’at. Maka jika kecemburuan itu melewati
batas syari’at akan menjadi tercela karena ia akan mendorong pelakunya
untuk menuduh orang lain, terutama tuduhan suami terhadap istrinya.
Padahal Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ﴾
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (Al-Hujurat: 12)
Dan di dalam Shahihain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((إِيَّكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الحَدِيْثِ))
“Jauhi oleh kalian prasangka karena sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dusta pembicaraan.”
Demikian juga kecemburuan istri pada suaminya adalah
terpuji selama tidak melewati syari’at. Di antara ujian bagi istri
adalah hebatnya rasa cemburu jika suaminya hendak menikah lagi. Bahkan
karena dahsyatnya kecemburuan seorang istri terhadap suaminya sering
menyeretnya kepada perbuatan yang diharamkan Allah, misalnya dengan
melakukan praktek sihir agar suaminya benci kepada madunya. Padahal
sihir itu adalah kekufuran, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
﴿وَاتَّبَعُواْ مَا تَتْلُواْ الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ
سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيْاطِينَ كَفَرُواْ
يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ
بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى
يَقُولاَ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ
مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُم
بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا
يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُواْ لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا
لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْاْ بِهِ أَنفُسَهُمْ
لَوْ كَانُواْ يَعْلَمُونَ وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُواْ واتَّقَوْا
لَمَثُوبَةٌ مِّنْ عِندِ اللَّه خَيْرٌ لَّوْ كَانُواْ يَعْلَمُونَ﴾
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh
setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa
Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak
mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan
sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan
kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang
keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum
mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu
janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu
apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang
(suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi
mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun kecuali dengan izin Allah.
Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak
member manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa
barangsiapa yang menukarkan (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah
baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual
dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya kalau
mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan
sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka
mengetahui.” (Al-Baqarah: 102-103)
Imam Bukhari rahimahullah mengatakan
(5/393): “Telah bercerita kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah, ia
berkata telah bercerita kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Tsaur bin
Zaid Al-Madini dari ‘Abdul Ghaits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
((اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ)) قَلوا: يا رسول
الله! وَمَا هنَّ؟ قال: (( الشِرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ
النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلا بِالحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا،
وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيْمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ
المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَات الغَافِلاتِ))
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang
membinasakan.” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa gerangan
(yang tujuh) itu?” Beliau menjawab: “(Yaitu) menyekutukan Allah, sihir,
membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang haq,
makan riba, makan harta anak yatim, melarikan diri dari peperangan,
menuduh wanita baik-baik yang lengah lagi beriman (berbuat zina).”
Berkata Al-Hakim rahimahullah (4/217):
“Telah bercerita kepada kami Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdullah
Az-Zahid Al-Ashbahani, ia berkata telah bercerita kepada kami
‘Ubaidillah bin Musa, ia berkata telah bercerita kepada kami Israil dari
Maisarah bin Habib dari Al-Minhal bin Amir dari Qais bin As-Sakan
Al-Asadi, ia berkata: “Masuklah ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ke tempat seorang wanita (salah satu keluarganya) dan dia melihatnya memakai jimat dari al-hamrah.
Lalu ‘Abdullah bin Mas’ud memotongnya dengan keras dan mengatakan:
“Sesungguhnya keluarga ‘Abdullah tidak butuh pada syirik. Dan
mengatakan: ‘Termasuk perkara yang kami jaga dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (adalah sabdanya):
((أَنَّ الرُّقَى وَالتَّمَاإِمَ وَالتِّوَلَةَ مِنَ الشِرْكِ))
“Sesungguhnya mantera-mantera, dan tamaim/jimat dan tiwalah1 adalah syirik.” Hadits ini hasan sebagaimana dalam Ash-Shahihul Musnad (2/18).
Dan dalil-dalil lainnya yang menunjukkan kekufuran
penyihir, bahwasanya diharamkan untuk melakukan apapun dari perbuatan
tukang sihir, dan seorang tukang sihir tidak mungkin belajar sihir
kecuali dengan perantaraan para setan. Kemudian mudharat (keburukan) dan manfaat datangnya dari Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan
kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan
jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat
menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yunus: 107)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Katakanlah: ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang
apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan
kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan
kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah
mereka dapat menahan rahmat-Nya?’ Katakanlah: ‘Cukuplah Allah bagiku.’
Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.”
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
﴿وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلا ۖ كَاشِفَ لَهُ
إِلا هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ﴾
[الأنعام: ١٧]
“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan
kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri.
Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas
tipa-tiap sesuatu.” (Al-An’am: 17)
Dan dalam ayat lainnya:
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia
berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya, dan apa
saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk
melepaskannya sesudah itu. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (Fathir: 2)
Jadi, mudharat dan manfaat adalah di tangan Allah.
Maka orang yang menggunakan sihir, jika dia berkeyakinan bahwa dia bisa
menimbulkan mudharat atau mendatangkan manfaat di samping Allah maka
diakafir, karena ia mendustakan Al-Qur’an. Dan jika tidak berkeyakinan
seperti itu, akan tetapi menggunakannya sebagai sebab, maka itu adalah
suatu bentuk kesesatan, karena yang boleh dijadikan sebab aalah perkara
yang mubah. Dan jika engkau melakukan hal itu berarti engkau telah
mendahulukan kehidupan dunia di atas kehidupan akhirat. Barangsiapa yang
lebih menyukai kehidupan dunia di atas kehidupan akhirat maka ia sesat
dengan kesesatan yang nyata. Dan ia rugi dunia serta akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” (An-Nazi’at: 37-39)
Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di
akhirat akan Kami tambah keutungan itu baginya dan barangsiapa yang
menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari
keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (Asy-Syura: 20)
Oleh sebab itu waspada dan berhati-hatilah dari
kecelakaan besar ini, jangan sampai setan memperdayamu hanya karena
ingin mendapatkan kelezatan dunia dan kesenangan yang bakal sirna yang
akhirnya kamu terjerumus ke dalam kekufuran. Hanya Allah satu-satunya
tempat berlindung.
Maka demi Allah wahai wanita, para hamba Allah,
suamimu tidak akan memberi manfaat bagimu dan hisablah dirimu sendiri
sebelum engkau dihisab. Dan tidak jarang hal itu mendorong sebagian
wanita berangan-angan seandainya poligami (beristri lebih dari satu)
tidak pernah disyari’atkan. Sedangkan yang lain, hal tersebut mungkin
membuatnya benci kepada syari’at karena dibolehkannya poligami (bagi
pria). Adapula yang barangkali mengharapkan suaminya mati saja, jika dia
ingin beristri lagi. Dan berapa banyak yang seperti ini!!
Sebagian wanita lainnya tidak dapat berbuat apa-apa
(tidak melakukan pertentangan ketika suaminya kawin lagi, -pent.), akan
tetapi lisannya selalu menyerang madunya dengan cacian, ghibah, dan
namimah, maka kepada Allah satu-satunya tempat bagi kita untuk minta
pertolongan.
Adapun wanita yang beriman sikapnya terhadap masalah
ini adalah mengakui dan menyadari bahwa apa yang ada, dan terjadi di
alam ini adalah taqdir/ketetapan Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
﴿وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَّقْدُورًا﴾
“Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (Al-Ahzab: 38)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
﴿إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ﴾
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Al-Qamar: 49)
Betapapun kamu ditimpa suatu musibah di dunia
ini, tidak ada artinya kalau disbanding dengan keselamatan dienmu
(imanmu), hendaknya kamu banyak berdo’a. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
﴿وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ﴾
“Dan Rabbmu berfirman: ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu…'” (Ghaafir: 60)
Hendaknya kamu berusaha melawan perasaan yang muncul
di hatimu untuk menyusahkan madumu, padahal ia seorang wanita seperti
kamu juga maka untuk apa kamu engkau sampai pada perbuatan itu? Dan
kalau kita mau berpikir wahai para wanita, tentulah kita tidak akan
menyibukkan diri kita dengan hal itu. Padahal kecemburuan seperti ini
juga muncul pada istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dilebihkan oleh Allah melalui firman-Nya:
﴿يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ﴾
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa.” (Al-Ahzab: 32)
Sebagai contoh kecemburuan mereka adalah pada hadits yang telah lalu. Juga dalam Shahihain dari hadits ‘Aisyah, ia berkata:
“Tidaklah aku cemburu pada seseorang dari
istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti cemburuku pada
Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya sekalipun. Akan tetapi
beliau sering sekali menyebutnya, dan sering kali beliau menyembelih
kambing kemudian memotongnya sebagian dan diberikan kepada teman-teman
Khadijah maka aku katakana: ‘Seolah-olah tidak ada di dunia ini kecuali
Khadijah.’ Maka beliau jawab: ‘Sesungguhnya ia dahulu ada dan darinya
aku mempunyai anak.'”
Berkata Al-Iman Bukhari rahimahullah
(7/134): “Dan berkata Isma’il bin Khalil, ia berkata telah mengabarkan
kepada kami ‘Ali bin Musher dari Hisyam dari bapaknya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
“Halah binti Khuwailid -saudaranya Khadijah-
meminta izin menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
beliau mengenal minta izin (saudaranya) Khadijah, maka beliau gembira
karena itu dan mengatakan: ‘Ya Allah (ternyata) engkau Halah.’ Ia
(‘Aisyah) berkata: ‘Maka aku menjadi cemburu, lalu aku katakan: ‘Engkau
tidak menyebut seorang tua dari orang tua Quraisy yang merah kedua sudut
mulutnya, sehingga Allah telah menggantinya dengan yang lebih baik.””
Dan makna merah kedua sudut mulutnya adalah kinayah
dari ompong gigi-giginya, ini dikatakan oleh Al-Hafizh dan juga
An-Nawawi serta lainnya. Sedangkan perkataan ‘Aisyah pada hadits yang
sebelumnya: “Tidaklah aku cemburu…”, berkata Al-Hafizh (7/136): “Padanya
terdapat kepastian adanya sikap cemburu, dan itu bukan sesuatu yang
diingkari bila terjadi pada wanita-wanita yang mulia, lebih-lebih selain
mereka.”
Berkata Al-Imam Bukhari (9/310): “Telah bercerita
kepada kami Abu Nu’aim, ia berkata telah bercerita kepada kami ‘Abdul
Wahid bin Aiman, ia berkata telah berkata kepadaku Ibnu Abi Mulaikah
dari Al-Qasim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika
hendak safar beliau mengundi di antara istri-istrinya kemudian undian
itu jatuh kepada ‘Aisyah dan Hafshah. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam apabila tiba waktu malam beliau (biasa) berjalan bersama ‘Aisyah
sambil berbincang-bincang, maka berkatalah Hafshah: ‘Maukah kamu malam
ini naik tungganganku dan aku menaiki kendaraanmu, kamu melihat dan aku
melihat (pemandangan yang berbeda -ed)?’ ‘Aisyah berkata: ‘Tentu.’ Maka
naiklah ia dan datanglah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke onta
‘Aisyah yang di atasnya terdapat Hafshah, beliau memberinya salam,
kemudian berjalan sehingga sampai ke suatu tempat dan ‘Aisyah kehilangan
beliau. Ketika mereka turun, ‘Aisyah letakkan kedua kakinya di antara
al-idzkhir, dan berkata: ‘Wahai Rabbku, aku mampu
(menahan sakit disengat) kalajengking atau seekor ular, (tetapi) aku
tidak mampu untuk mengatakan sesuatupun kepada beliau (karena cemburu).’
Demikian pula cemburu yang dijumpai pada wanita
selain mereka dari kalangan shahabat yang mempunyai keutamaan. Berkata
Al-Imam An-Nasai (6/69): “Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin
Ibrahim, ia berkata telah bercerita kepada kami An-Nadhr, ia berkata
telah bercerita kepada kami Hammad bin Salamah dari Ishaq bin ‘Abdullah
dari Anas mereka mengatakan:
يا رسول الله ألا تتزوَّج من نساء الأنصار. قال: ((إِنَّ فِيهِمْ لَغَيْرَةً شَدِيدَةً))
“Wahai Rasulullah tidakkah engkau menikahi wanita
Anshar?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya pada mereka ada kecemburuan
yang sangat besar.” Hadits ini shahih.
Sedangkan terjadinya kecemburuan pada kita sangat
lebih memungkinkan, maka yang wajib (bagi kita) adalah bersabar. Bahkan
termasuk buah keimanan terhadap taqdir adalah sikap sabar sebagaimana dikatakan oleh Ayahanda dan syaikh (guru)-ku dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shahih fil Qadar. Dan perbuatan Allah ‘Azza wa Jalla semuanya mengandung hikmah, sedangkan hikmah itu kadang nampak dan terkadang tidak nampak.
Di antara hikmah beristri lebih dari satu (poligami):
1. Dengan banyaknya istri akan memperbanyak keturunan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((تَنَاكَحُوا تَنَاسَلُوا؛ فَإِنِّي مُبَاةٍ بِكُمُ الأُمَمَ))
“Menikahlah kalian dan buatlah keturunan karena aku berbangga dengan kalian di depan umat-umat yang lain.”
2. Terkadang wanita itu ada yang mandul tidak bisa
beranak, maka manakah yang lebih utama? Apakah mencerainya atau tetap
bersamanya menikah lagi, manakah yang lebih utama? Membiarkan suami
tanpa keturunan atau dia menikah lagi? Jawabnya, yang lebih utama adalah
tetap bersamanya dan membiarkannya menikah lagi.
3. Wanita pada saat nifas dan haidnya seringkali
suami tidak bisa sabar menahan sehingga akan menyeretnya pada sesuatu
yang haram, dan jalan keluar dari masalah ini adalah dengan suami
menikah lagi.
4. Kadang pada wanita ada beberapa aib (kekurangan) maka yang lebih utama adalah suami menikah lagi dan tidak menceraikannya.
5. Bisa jadi wanita seringkali sakit, maka yang lebih
utama adalah suami menikah lagi dan tidak menceraikannya, atau mungkin
ia sabar atas istrinya akan tetapi dia tidak kasihan terhadap dirinya.
6. Banyaknya istri (poligami) akan mempererat hubungan beberapa keluarga. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا
“Dan Allah (pula) yang menciptakan manusia dari
air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah2 dan
adalah Rabbmu Maha Kuasa.” (Al-Furqan: 54)
7. Seorang wanita itu harus ada orang yang memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya berupa nafkah dan lainnya, maka dengan poligami
seorang suami yang akan melaksanakan hal itu. Dan ilmunya berada di sisi
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Footnote:
1 Tiwalah adalah guna-guna/sesuatu yang dibuat agar suami mencintai istrinya atau sebaliknya –penerbit.
2 Mushaharah artinya hubungan kekeluargaan yang terjalin karena sebab perkawinan, seperti menantu, ipar, mertua, dan sebagainya –penerbit.
2 Mushaharah artinya hubungan kekeluargaan yang terjalin karena sebab perkawinan, seperti menantu, ipar, mertua, dan sebagainya –penerbit.
(Sumber: نصيحتي للنساء قضاياتهم المرأة فتاوى للنساء karya Ummu ‘Abdillâh Al-Wâdi’iyyah. Edisi Indonesia “Wahai Muslimah Dengarlah Nasehatku“; bab Kecemburuan Wanita, hal
187-196. Penerjemah: Abu Yahya Apri, Rusdi Abu Salamah, & Hannan
Hoesin Bahanan. Editor & Muraja’ah: Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar
Thalib. Penerbit: Pustaka Sumayyah Pekalongan. Dinukil untuk
http://akhwat.web.id. Silakan mengcopy dan memperbanyak dengan
menyertakan sumbernya)
wr.wbsalam ta’aruf dari saya, calon_akhwatDalam hidupku saya menjumpai suatu kejanggalan yang dilakukan laki-laki/ikhwan terhadap muslimah/wanita terkait dengan poligami ini.Mudah2an kita tidak bersikap sembrono terhadap syariat islam.
Adalah Syaikh Bin Baz rahimahulloh dalam fatwanya tentang poligami menyatakan bahwa tidak wajib hukumnya meminta izin isteri pertama (1) jika akan menikah dengan wanita yang lain (poligami).
Teks fatwa tersebut bukan menyuruh laki-laki mencari wanita simpanan dengan menyembunyikan keberadaannya dari istri pertama dan pada umumnya demikianlah yang terjadi. Wanita simpanan dan istri tadi bahkan pada sebagian kenyataan telah DITIPU oleh si LAKI-LAKI dengan dalih:
Kepada wanita simpanan: SAYA BELUM MENIKAH SEBELUMNYA. KAMU ADALAH ISTRIKU YANG PERTAMA.
Kepada istri (di rumah): Kamu adalah wanita pujaanku dan aku tidak akan mengkhianati cinta kita.
INI YANG SAYA PERHATIKAN ..
Saya menghimbau bagi akhwat yang akan mencari jodoh supaya TIDAK MUDAH DIRAYU IKHWAN!!! JANGAN MUDAH DIRAYU HANYA KARENA IKHWAN TERSEBUT MENGAKU-NGAKU SALAF!!
Berhati-hatilah dalam mencari jodoh, lihat dulu amalan ikhwan tersebut secara teliti barulah memutuskan apa ukhti terima atau gak.
Yang sudah nyata..banyak ikhwan/laki-laki sekarang mengaku bermanhaj salaf tetapi tidak demikian sebenarnya.
Mudah2an Alloh menjaga saya..
Menurutku ini penting sekali guna menghindari terjadinya penipuan!!! Ya..Penipuan berkedok islam!!
Di Thailand banyak orang menikah tanpa dokumen yang sah seperti yang ditetapkan oleh Komite Umat Islam Thailand.
Akhirnya, pemuda/i Malaysia yang menikah disana sekembalinya ke negara mereka tidak diakui status pernikahannya oleh Majlis Ugama Kerajaan Malaysia.
Apalagi jika terjadi hal-hal yang menyebabkan mereka berpisah- mau cerai- maka ketika mengurusnya ke pihak yang berwenang seperti :KUA – justru kekesalan yang mereka dapatkan. Sudahlah status pernikahan mereka tidak diakui, MALAH si Laki- Laki pergi meninggalkan istrinya tadi tanpa pertanggungjawaban sebagai seorang suami.
Adakah kita menginginkan kejadian pahit ini??
Tentu tidak, Walloohul musta’aan.
Tapi menurut pendapat ana adalah LEBIH BAIK mencari jodoh dari kalangan wanita ‘alimah disamping kita membekali diri kita dengan ilmu agama.
Saya melihat menikahi muslimah dari “pondok pesantren” misalkan ma’had tahfizh JAUH LEBIH BAIK ketimbang menikahi wanita awam.
Jangan katakan ‘ saya bisa memperbaikinya ” kalo kami sudah menikah. TIDAK DEMIKIAN MENUURT ANA.
Pernikahan itu seharusnya dipandanga sebagai pintu perjuangan. Pintu untuk menampakkan kekuatan islam..lalu bagaimana kekuatan islam akan hadir sementara kita dipersunting/mempersunting laki2/wanita yang TIDAK LANCAR MEMBACA KALAMULLOOH????
– seorang akhwat yang “tebal agamanya” mau menikah dengan laki-laki musbil, laki-laki yang menghaluskan
dagunya
– seorang ikhwan yang menikahi wanita semata-mata karena status sosial, kecantikan serta melihat gelar si wanita tersebut.
2. beramal dengan ilmu
3. ikhlas dan tawakal
insyalloh taadud bisa dilaksanakan dmn dan oleh siapa saja…